Wednesday, November 25, 2009

Peningkatan Kualitas Tenaga Kependidikan

Salah satu tujuan Negara ialah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang mencakup segala aspek dalam bidang kependidikan, sala satunya adalah factor tenaga kependidikan. Pada masa ini masi ditemukan “sejumlah guru” yang kurang berkompeten dalam mendidik anak didiknya. Contohnya lemahnya penguasaan IT sesuai dengan tuntutan teknologi, pendidik kurang mampu “menguasai” kelas pada saat proses kegiatan belajar sehingga intensitas penyerapan materi belajar menjadi berkurang. Hal ini disebabkan rendahnya kualitas tenaga pendidik tersebut. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
• Kompetensi pedagogik;
• Kompetensi kepribadian;
• Kompetensi profesional; dan
• Kompetensi sosial.

Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.

Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru

Berikut ini adalah bentuk-bentuk yang bisa dilakukan untuk peningkatan kualitas tenaga kependidikan,
 pertama para guru harus memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang bersifat struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah.
 lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas.
 guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan dalam menulis laporan penelitian.
 Pemerintah juga ikut andil dalam peningkatan kualitas tenaga kependidikan, seperti program “Sertifikasi Guru”, peningkatan tunjangan kesejahteraan, peningkatan anggaran belanja Negara dalam bidang pendidikan.

Friday, October 9, 2009

Inilah Korupsi di Dunia Pendidikan

Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Kenaikan anggaran menjadi tidak bermakna. Indikator pendidikan masih tetap belum memuaskan. Angka putus sekolah (SD dan SMP) masih tetap tinggi yakni sebesar 4,313,001 murid (2004-2008). Hal ini berarti turun 5,1 persen dibandingkan periode sebelumnya sebesar 4,545,921 murid (2000-2004). Meskipun angka putus sekolah turun, hal ini tetap belum sebanding dengan kenaikan anggaran Depdiknas yang mencapai 1,5 kali lipat dibandingkan dengan Depdiknas periode sebelumnya.

Selain itu, jumlah ruang kelas (SD dan SMP) rusak berat juga meningkat, dari 640,660 ruang kelas (2000-2004 meningkat 15,5 persen menjadi 739,741 (2004-2008). Selain itu, persentase guru (SD,SMP dan SM) yang tidak layak mengajar hanya turun sebesar 10 persen. Sekali lagi, performas tiga indikator pendidikan ini tidak sebanding dengan anggaran yang telah dikeluarkan untuk Depdiknas.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah maraknya korupsi pendidikan diseluruh tingkatan birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas sampai tingkatan sekolah.

Penindakan Korupsi Pendidikan

Berdasarkan pemantauan ICW diperoleh bahwa penegak telah mengusut 142 kasus korupsi pendidikan dengan total kerugian negara kurang lebih Rp 243,3 miliar. Dari kasus korupsi tersebut, 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka yang sebagian besar berasal dari dinas pendidikan daerah seperti kepala dinas pendidikan (42 orang) dan jajarannya (67 orang).

Dari kasus ini terlihat bahwa, dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya desentralisasi pendidikan yang disertai rendahnya kontrol atas dinas pendidikan dan jajarannya.

Selain itu, sebagian besar korupsi pendidikan berkaitan dengan pengelolaan dana DAK Pendidikan seperti dana untuk rehabilitasi dan pengadaan sarpras sekolah (meubeulair, buku, alat peraga dan lain sebagainya) yakni sebanyak 47 kasus. Total kerugian negara akibat korupsi dana DAK mencapai Rp 115,9 miliar. Selain itu dana operasional sekolah (BOS) juga telah menjadi obyek korupsi yani sebesar 33 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 12,8 miliar.

Gap Besar Antara Penindakan dan Potensi Korupsi Pendidikan

Namun demikian, korupsi pendidikan yang telah ditindak masih jauh lebih kecil dari penyelewengan dana pendidikan yang ada. Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”. Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan.

Berdasarkan hasil ini maka dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang sangat rawan korupsi. Hal ini disebabkan empat faktor pertama merupakan sektor yang mendapatkan anggaran paling yang besar dari negara. Kedua banyak aktor terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi, kontraktor/pemborong dan supplier sarpras (Sarana prasarana) pendidikan. Keempat, tata kelola (governance) disektor pendidikan masih buruk. Hal ini terlihat dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan partisipatif. Institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 adalah bukti betapa buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih bersifat tertutup. Keempat, besarnya anggaran pendidikan telah menjadi sumberdana penggalangan kampanye bagi politisi dalam pemilu atau pilkada.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan analisis terhadap 5 tahun pemberantasan korupsi pendidikan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Korupsi menyebabkan tujuan pendidikan tidak tercapai. Kenaikan anggaran pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena banyaknya penyimpangan dan kebocoran anggaran. Kenaikan anggaran pendidikan justru meningkatkan potensi korupsi disektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola (governance) disektor pendidikan.
2. Desentralisasi pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru, yakni kepala dinas pendidikan beserta jajarannya. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah. Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh pejabat birokrasi pendidikan daerah.
3. Depdiknas gagal mengelola anggaran pendidikan yang besar. Hal ini dibuktikan dengan opini disclaimer oleh BPK atas laporan keuangan Depdiknas. Depdiknas hanya berhasil meningkatkan status opini Wajar Dengan Pengecualian pada tahun 2008. Capaian ini juga tidak sesuai yang ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2004 – 2009.
4. Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit BPK. Penindakan kasus korupsi pendidikan hanya mampu menjerat aktor ditingkat dinas pendidikan dan sekolah (middle lower). Sedangkan aktor ditingkat Depdiknas dan DPR masih sangat sedikit. Padahal dua lembaga tersebut memiliki kewenangan paling tinggi atas kebijakan pendidikan di Indonesia.

Rekomendasi:

1. Presiden SBY mengevaluasi kinerja pemberantasan korupsi sektor pendidikan sebagai perwujudan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Evaluasi terutama ditujukan pada kinerja pengelolaan anggaran pendidikan dan penindakan dugaan korupsi disektor pendidikan.
2. KPK memprioritaskan penindakan kasus korupsi pendidikan terutama di Depdiknas. Depdiknas merupakan instusi pengelola anggaran pendidikan terbesar dan juga memiliki kewenangan tertinggi dalam kebijakan pendidikan.
3. Memperbaiki tata kelola di sektor pendidikan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya guna mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan perumusan kebijakan pendidikan sehingga bisa menghindari penyimpangan dan penyelewengan.
4. Penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) mengusut tuntas semua kasus korupsi pendidikan diseluruh Indonesia

========================
Thanks to: Akhmad Sudrajat
Hasil analisis ICW selengkapnya dapat dilihat dalam tautan di bawah ini:

Kajian Peta Korupsi Pendidikan

sumber :http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/23/inilah-korupsi-di-dunia-pendidikan-kita/

7 Prinsip Taktik Pembelajaran Yang Baik

Dalam sebuah tulisannya, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengetengahkan tentang 7 (tujuh) prinsip praktik pembelajaran yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait dengan pendidikan.

Di bawah ini disajikan esensi dari ketujuh prinsip tersebut dan untuk memudahkan Anda mengingatnya, saya buatkan “jembatan keledai” dengan sebutan CRAFT HiT

1. Encourages Contact Between Students and Faculty

Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya kontak antara guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga, guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya.

2. Develops Reciprocity and Cooperation Among Students

Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim dibandingkan melalui perpacuan individual (solo race). Belajar yang baik tak ubahnya seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain dapat semakin mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu.

3. Encourages Active Learning

Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru, atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.

4. Gives Prompt Feedback

Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri.

5. Emphasizes Time on Task

Waktu + energi = belajar. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah seyogyanya dapat mendefinisikan ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya

6. Communicates High Expectations

Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan para siswa berkinerja atau berprestasi baik pada gilirannya akan mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya

7. Respects Diverse Talents and Ways of Learning

Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing. Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk melakukannya.

Pada bagian lain, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengatakan bahwa guru dan siswa memegang peran dan tanggung jawab penting untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi mereka tetap membutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk membentuk sebuah lingkungan belajar yang kondusif bagi praktik pembelajaran yang baik. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan tersebut meliputi: (a) adanya rasa tujuan bersama yang kuat; (b) dukungan kongkrit dari kepala sekolah dan para administrator pendidikan untuk mencapai tujuan ; (c) dana yang memadai sesuai dengan tujuan; (d) kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan tujuan; dan (e) evaluasi yang berkesinambungan tentang sejauhmana ketercapaian tujuan.

Adaptasi dan terjemahan bebas dari: Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson. Seven Principles for Good Practice in Undergraduate Education

sumber :http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/30/inilah-tujuh-prinsip-praktik-pembelajaran-yang-baik/

70% Kepala Sekolah Tidak Kompeten

Departemen Pendidikan Nasional memperkirakan 70 persen dari 250 ribu kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten. Berdasarkan ketentuan Departemen, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Namun, hampir semua kepala sekolah lemah di bidang kompetensi manajerial dan supervisi. “Padahal dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik,” kata Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Kesimpulan ini merupakan temuan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional setelah melakukan uji kompetensi. Direktorat Peningkatan Mutu melakukan uji kompetensi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah. Lebih dari 400 kepala sekolah dari lima provinsi mengikuti tes tersebut. Untuk memastikan temuan itu, uji kompetensi kembali dilakukan pekan lalu terhadap 50 kepala sekolah sebuah yayasan pendidikan. “Hasilnya sama saja,” kata Surya.

Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara, kata Surya, untuk menjadi kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan minimal waktu yang ditentukan. Ia mencontohkan Malaysia, yang menetapkan 300 jam pelatihan untuk menjadi kepala sekolah, Singapura dengan standar 16 bulan pelatihan, dan Amerika, yang menetapkan lembaga pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau surat keterangan kompetensi.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan kepala sekolah menjadi kewenangan penuh bupati atau wali kota. “Kewenangan tersebut menjadikan bupati atau wali kota seenaknya saja menentukan kepala sekolah,” ujarnya. Selain itu, proses pengangkatannya jarang disertai pelatihan. Ia berharap kepala daerah kembali menggunakan standar kompetensi dalam memilih dan mengangkat kepala sekolah.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Yanti Sriyulianti menyatakan perekrutan kepala sekolah memang tidak profesional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sekolah yang tidak berkualitas. Ia memberi contoh perekrutan kepala sekolah di Subang, Jawa Barat, yang cenderung tertutup. “Proses yang tertutup seperti itu bisa saja terjadi di tempat lain dan dapat diindikasikan sebagai salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Yanti kemarin. Menurut dia, perlu perubahan manajemen dan regulasi yang lebih transparan dan akuntabel untuk memperbaikinya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2008/08/12/brk,20080812-130482,id.html

Elise, Bocah Dua Tahun Supergenius asal London

LONDON - Kemampuan luar biasa dimiliki Elise Tan-Robert. Bocah baru berumur dua tahun itu dikaruniai kecerdasan luar biasa. Dari hasil tes kecerdasan dengan sistem IQ (Intellectual Quotient) terhadap bocah lucu asal London Utara, Inggris itu, didapat angka 156 atau masuk kategori supergenius.

Dalam standar tes IQ internasional, hasil tes Elise itu jauh di atas nilai 140 yang selama ini dijadikan patokan seseorang masuk kelompok genius. Keistimewaan itu menjadikan Elise sebagai anggota termuda Menza, organisasi internasional untuk komunitas manusia ber-IQ di atas 130, atau kelompok superior.

Tanda-tanda kecerdasan Elise memang tampak dari perilakunya sehari-hari. Wartawan harian Inggris, DailyMail, yang mengunjungi kediaman keluarga Elise akhir pekan lalu, dibuat terkejut-kejut ketika sang bocah menyambutnya dengan pertanyaan cerdas.

Saat itu dia menunjukkan sebuah bentuk bangun dengan menggunakan jari telunjuk dan jempol yang disatukan. "Bentuk apa ini?'' dia bertanya. Sebelum sang wartawan bisa menjawab, Elise menimpali cepat. "Ini segitiga sama sisi,''cetusnya.

Menurut Louise, 28, sang ibu, saat ini usia Elise baru dua tahun, empat bulan, dan dua minggu. Sebagai anggota termuda, Menza mencatat IQ Elise lebih tinggi 0,2 persen daripada bocah terpandai seumurannya di dunia.

Louise menceritakan, sejak lahir Elise sudah menunjukkan beberapa kelebihan. Belum genap lima bulan usianya, Elise sudah bisa memanggil ayahnya dengan sebutan "Dada". "Dia sudah bisa berjalan tiga bulan kemudian (saat berusia 8 bulan) dan berlari dua bulan berikutnya," ujar Louise.

Sebelum perayaan ulang tahun pertama, dia sudah bisa memahami tulisan namanya. Kemudian, ketika usianya 16 bulan, Elise sudah mampu berhitung sampai 10. Dan, pada Selasa lalu (28/4), Elise kembali membuat ibunya tercengang. "Apa nama ibu kota Rusia?'' Louise iseng bertanya kepada Elise. "Moskow," jawab Elise seperti tanpa berpikir. Lalu sang ibu bertanya lagi, "Indonesia?" "Jakarta!" jawabnya lantang.

Jawaban-jawaban yang tidak lazim untuk anak seumurnya itu memunculkan spekulasi dari sejumlah pihak apakah kemampuan tersebut hasil latihan ketat dari orang tua yang ambisius dan ingin menunjukkan kemampuan hebat putrinya.

Louise dan suaminya, Edward, membantah dugaan itu. Mereka bahkan mengaku terus dibuat terkejut oleh perilaku dan kecerdasan putrinya. Louise mengatakan, dirinya mulai memperhatikan kecenderungan anaknya yang mencermati dan menatap tajam sebuah benda atau orang. "Kemudian dia tampak berkeringat, seperti mendapat sebuah informasi baru," ungkapnya.

sumber:http://indopos.co.id

Template by : kendhin x-template.blogspot.com